Selasa, 29 Mei 2012

Di kaset masih ada GOMBLOH

Tidak ada komentar :
SERASA tanpa pernah berhenti. Lagu Di Radio itu mengisi hari panjang dalam siaran radio, 1987. Dan di layar TV tampak sosok kurus, kerempeng, dengan rambut menjuntai awut-awutan,
misai yang nyaris menggapai dagu. Sementara, anak-anak TK justru lebih sering menyenandungkan lagunya. ketimbang Burung Kakaktua. Sabtu lalu, penyanyi dan pencipta lagu itu kembali ke rahmatullah dalam usia 37 tahun. Gombloh meninggal dunia di RS Darmo, Surabaya.

"Aku merasakan top di usiaku yang kian keropos," ujarnya dua bulan lalu, kepada sobatnya, seorang sopir taksi. Surabaya berkabung. Ia memang bagian dari Surabaya. Di kota itu ia lahir, bersekolah, lalu menggumuli musik. Ia tak hendak pindah ke kota lain. Jakarta? "Tidak," ujarnya. "Jakarta sudah terlalu mbisnis." Ia cinta Surabaya. Pada hampir setiap penampilannya di sana, ia tak lupa bcrteriak, "Selamat malam, Surabaya!"

Nama sebenarnya Soedjarwoto. Ia menambahkannya sendiri dengan Sumarsono. Kawan SMP-nya, entah mengapa, memanggilnya Sapek yang artinya tiga ratus Dan sewaktu SMA, ia dijuluki Gombloh, si lusuh yang seadanya. Sebutan yang pas dengan sosoknya, hingga ia berangkat ke akhir hayat. Sekolah, walau ia sebentar kuliah di jurusan Arsitektur Institut Teknologi Surabaya, ia ogah. Kalau disuruh belajar, menurut Slamet, ayahnya, anaknya itu sering bilang: kepalanya kopyor. Ia lebih suka menggambar, mencoret-coret, dan genjrang-genjreng -- menyanyi semalam suntuk dengan gitar pinjaman.

Dari biang begadang, Gombloh melangkah ke dunia musik beneran. Mulanya (1967), ia bergabung dengan band The Sheery's. Kemudian bersama Leo Kristi ia bikin kelompok Lemon Trees. Tak lama. Mereka pecah kongsi. Gombloh lalu berkibar sendirian. Gombloh berbuat. Ia tak sibuk dengan ang artifisial dan ketrobadur-trobaduran. Baginya, musik dan lagu adalah ekspresi. Ia berbulan-bulan tekun mempelajari suatu masalah, hanya untuk bikin satu lagu. Bagaimana seharusnya dan sebaiknya itu dijadikan lagu, ditulis liriknya, diaransemen musiknya -- dan bagaimana ekspresi melagukannya. Musiknya adalah kemanusiaannya. Lihat Monika -- walau belum diselesaikannya. Ia bercerita tentang nasib seorang anak hasil hubungan gelap seorang gadis dengan kakak iparnya. Sang ayah yang tak peduli, dan ibu (sebagai protes) minggat, membiarkan si anak di rumah sakit. Di situlah anak itu tumbuh. Musiknya adalah patriotismenya. Ia telah meneriakkannya, lantang, Indonesia/merah darahku/putih tulangku/bersatu dalam semangatku ....

Gombloh juga dekat pada alam. Dengan wajah sungguh-sungguh, ia nyanyikan Berita Cuaca-nya. Mengapa tanahku rawan kini/bukit-bukit pun telanjang berdiri/ pohon dan rumput enggan bersemi kembali/ burung-burung pun malu bernyanyi. Musiknya adalah pemahamannya akan arti hidup. Ia tak segan membuka kitab Serat Centhini untuk karya terbesarnya, Hong Wilaheng. Sebuah lagu yang bersuasana mistis, yang kemudian menarik perhatian seorang musikolog dari Cornell University, AS. Di lagu itu ia bersenandung, sekaligus berteriak, dengan khusyuk. Gombloh tak malu melagukan cinta. Itu ia ungkapkan dengan gaya Surabaya -- tanpa cengeng. Gombloh bilang, Kalau cinta melekat, tai kucing rasa coklat. Ia juga amat dekat dengan masyarakat jelata. Dengan uang ia royal, sering habis untuk kawan-kawan: tukang becak, seniman, pelacur. Pernah membeli puluhan BH dan celana dalam, lalu ia bagikan pada para pelacur. Gombloh, ibarat sebuah kesetiaan. Ia tak mau meninggalkan studio tempat ia mula pertama rekaman, Nirwana Record, berapa pun tawaran hendak dibayar di tempat lain. Jujur dan terus terang juga bagian hidupnya. Saat-saat ia tak punya uang, ia terang-terangan menyatakan akan bikin lagu untuk cari duit.

Kugadaikan Cintaku (diadaptasi dari album Jimmy Cliff), misalnya, memang berhasil. Tapi Gombloh tetap Gombloh. Ia masih makan soto, bukan steak. Ia terus membuat lagu sebagai ekspresi, selain yang untuk cari duit itu. Tapi hidupnya juga pendek. "Saya merasa sangat kehilangan," kata Ebiet. Sama-sama tumbuh dari bawah, Ebiet mengaku sevisi dengan Gombloh dalam hal lingkungan sosial. "Bedanya, Gombloh ceplas-ceplos, saya terselubung." Eddy Sud, yang melayat juga, berkomentar, "Ia merakyat." Rinto Harahap menyebut musik Gombloh bercorak khas. Mus Mualim menilai, lagu-lagu Gombloh bukan lagu biasa. "Itu lakon hidupnya." Ia bukan jago mengolah lagu. Tapi, menurut Mus, lagunya menyuarakan isi hatinya secara kenthel. Menurut Budi Prawita, pimpinan Nirwana, Gombloh seorang yang ndableg, keras kepala. Ia tak pernah mau berhenti bergadang dan kerja keras. TBC sudah lama menggerogoti paru-parunya, dan telanjur parah biarpun ia telah berhenti merokok dan minum minuman keras. Ia meninggalkan istri dan seorang anak. Hari itu konvoi Harley Davidson dan Binter Merzy mengiring jasadnya ke kubur. Arek-arek Surabaya, dengan caranya sendiri, berusaha menepis duka. Ketika di pemakaman, segerombol arek berusaha untuk riang, menyanyi bersama: Di Radio ....
Zaim Uchrowi, Priyono B. Sumbogo, Yopie Hidayat (Jakarta), Budiono Darsono, dan Wahyu Muryadi (Surabaya)

(Dari Majalah TEMPO 16 Januari 1988)

Tidak ada komentar :

Posting Komentar