IWAN Fals adalah produk kota besar. Rekaman pertamanya dengan 10 lagu yang barusan
terbit ini, boleh dikata liriknya tak menyentuh alam. Ia berbeda dengan Ebiet
G. Ade, atau Leo Kristi, atau Franky.
Iwan lebih dekat dengan Mogi Darusman.
Tak ada cerita angin, burung, perahu atau nelayan dalam lirik Iwan. Ia lebih suka
bertutur tentang nasib sarjana muda yang dengan langkah gontai mencari
pekerjaan dan gagal. Atau tentang sebuah rumah sakit yang menolak pasien yang
tak mampu membayar. Atau nasib pelacur yang tak kunjung mendapat langganan.
Kalau toh ia bercerita tentang Si Tua Sais Pedati, di bait akhir liriknya ia
lantas menyebut "solar dan ganti oli, bensin dan ganti busi," yang
tak pernah dipikirkan sais pedati. Pun musik pengiringnya, ternyata sangat
berbau 'kota', sangat berbau sebuah orkes lengkap.
Dalam Sarjana Muda,
"seorang pemuda dengan jaket lusuh di pundaknya" yang berjalan dengan
sebatang rumput liar terselip di bibir, suasana itu terasa tidak klop degan
gesekan biola Yap Chi Kian -- itu solisnya Orkes Simfoni Jakarta. Tapi dari
segi yang lain, barangkali musik yang bak orkes lengkap itu memang
menguntungkan.
Lirik Iwan yang tak sekuat lirik Ebiet tertolong karenanya.
Sebagai musik, paling sedikit, rekaman Iwan yang pertama ini enak didengar.
Luput dari dugaan orang, album Sarjana Muda ini tak tampil dengan seloroh.
Ketika Iwan masih suka ngamen di jalanan, atau sewaktu ia tampil di panggung
orang merubungnya karena ia menyanyi dengan kocak. Satu hal yang hilang dalam
rekaman ini, ialah spontanitas Iwan -- sama sekali absen.
Kalau mau dicari,
yang paling berhasil dalam rekaman pertama ini memang Guru Oemar Bakri. Masih
tercium seloroh Iwan seperti kalau lagi tampil di panggung. Pun lirik lagu ini
terasa tangkas, dan hidup dalam menceritakan suasana. Maka terasa kurang sreg,
kalau dalam album pertama ini muncul pula sebuah ode buat Bung Hatta. Soal
beginian rasanya kurang pas buat Iwan Fals ia lebih bisa bercerita tentang
tokoh yang potretnya bisa dimencang-mencongkan. Potret salah seorang
Proklamator RI itu, tentulah susah untuk dibegitukan. Jadinya ode buat Bung
Hatta terasa merengek. Hujan air mata dari pelosok negeri / Saat melepas engkau
pergi / berjuta kepala tertunduk baru / Terlintas nama seorang sahabat / Yang
tak lepas dari namamu.
Coba bandingkan dengan cerita tentang Pak Guru Bakri
itu. Tas hitam dari kulit buaya, selamat pagi berkata Pak Oemar Bakri / Ini
hari aku rasa kopi nikmat sekali. Kemudian pak guru tua itu pun berangkat ke
sekolah dengan sepeda tuanya untuk mengajar ilmu pasti. Sesampainya di depan
sekolah ia kaget, kok banyak polisi berwajah garang. Ternyata murid-muridnya
berkelahi. Pulanglah Pak Bakri dengan ngeri. Sepedanya pun dikebutnya. 40 tahun
mengabdi jadi guru jujur berbakti memang makan hati. Tapi mengapa gaji guru
Oemar Bakri seperti dikebiri? tanya Iwan dengan merdu sekaligus menyakitkan
hati.
Bambang Bujono.
Majalah Tempo 21
Maret 1981
Tidak ada komentar :
Posting Komentar