Selasa, 14 Juni 2011

EBIET G ADE liriknya, mas, liriknya

Tidak ada komentar :

Munculnya Ebiet turut meneguhkan lagi popularitas musik pop -- yang sejak sekitar pertengahan 1979 mulai naik kembali, bahkan kelihatan mendesak pasaran dangdut di sana-sini.
Juga, tak kurang pentingnya, merupakan langkah lanjut dalam usaha peningkatan mutu lirik pop kita.
Seorang musikus Yogya, yang sering menjadi juri festival musik, menilai musik pop kini "makin menarik, tidak cengeng lagi."

Meskipun dinilainya terkadang masih "kurang komunikatif. Mungkin dia benar. Tapi keluhan bahwa lirik pop Indonesia dijejali dengan kata "mengapa hatiku . . . " misalnya, tidak berlaku untuk lirik-lirik Franky & Jane, Ebiet atau Leo Kristi. Lirik mereka tak menangis lagi. Bercerita tentang cinta, pun kini Ebiet misalnya berani berkata: Cinta bukan mesti bersatu.

Biar kucumbui bayangmu. Bahkan dalam Pesta, si Ebiet meledek musik yang diperdengarkan dalam ruang ajojing itu. Pada sebuah pesta dansa/Aku jadi teringat/Waktu ibuku di kampung/menumbuk padi/Sebab/Musik berdetak seperti/Lesung ditalu. Agaknya, setelah beberapa tahun dilupakan, lirik musik kembali menengok pada puisi. Dipopulerkan oleh Trio Bimbo dengan penyair Taufiq Ismail, hampir sepuluh tahun lalu, 1978 muncul Franky & Jane yang menyanyikan sajak-sajak Yudhistira ANM Massardi. Setahun kemudian muncul Ebiet G. Ade. Sebelumnya, 1975, muncul Leo Kristi dengan konser rakyatnya, yang juga menyuguhkan lirik yang berpaling pada puisi. Dan tidak begitu lama sebelumnya tercatat lirik Guruh -- yang segera diikuti oleh munculnya lirik-lirik "puisi" yang ruwet, yang misalnya dihasilkan oleh lomba cipta lagu yang dijurii antara lain oleh Keenan, Chrisye, juga Guruh. Itulah lirik-lirik yang keliru memahami puisi sebagai "barang antik" -- dan tenggelam.

Ada sesuatu pada lirik-puisi kelompok terakhir itu yang berbeda dari misalnya lirik Guruh, Keenan, Chrisye atau Eros Jarot, maupun Bimbo yang mendahului mereka -- meskipun agak dekat dengan Iwan Abdulrahman dengan 'Grup Pencinta Lagu'nya. Kelompok yang lebih muda itu tidak menjadikan lirik sebagai sarana memuja keagungan -- kecuali sebagian pada Leo Kristi. Mereka bercerita tentang kampung, nelayan dan rakyat dengan cara bertutur yang dengan sendirinya melantunkan satu himbauan. Mereka seperti mencoba memalingkan muka dari gedung-gedung dan riuh lalu lintas -- pada angin, padang-padang dan orang-orangnya. Sebuah petikan Ebiet, dari Berita Kepada Kawan: Kawan, Coba dengar apa jawabnya Ketika ia kutanya: mengapa? Bapak-ibunya telah lama mati Ditelan bencana tanah ini Sesampainya di laut Kukabarkan semuanya kepada karang, kepada ombak, kepada matahari Tetapi semua diam Tetapi semua bisu Tinggal aku sendiri Terpaku menatap langit Barangkali di sana ada jawabnya Mengapa di tanahku terjadi bencana Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita Yang selalu salah dan Bangga dengan dosa-dosa Atau Alam mulai enggan bersahabat dengan kita Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang Ebiet, berdarah Banyumas (Jawa Tengah) asli, memang tak asing dengan puisi. Sejak duduk di SMA Muhammadiyah, di Yogya, dia dekat dengan penyair Emha Ainun Nadjib. Di mana saja Emha muncul membacakan puisinya, muncul pula Ebiet menyanyikan puisi-puisi itu dengan gitarnya. Anehnya, ketika album pertamanya muncul, tak sebiji pun sajak Emha dia nyanyikan. "Saya hanya menyanyikan sajak saya sendiri," katanya. Lingkungan itulah yang agaknya membentuk lirik-liriknya. Apalagi, 1974, ketika anak bungsu di antara 6 bersaudara itu lulus SMA dan terpaksa nganggur karena tak ada biaya sekolah -- dan tak tahu mau kerja apa -- ia lebih terlibat dengan sekelompok seniman muda Yogya. Dan di tahun itu, tercatat segerombolan seniman senirupawan Indonesia, termasuk yang dari Yogya, sedang mencoha "memberontak." Mereka yang kemudian dikenal sebagai kelompok Senirupa Baru Indonesia itu mengetengahkan karya-karya yang sebagian berbau protes. Protes pada barang-barang plastik karena mematikan industri kecil, protes kepada pembangunan yang mereka ketahui tak merata. Memang tak jelas benar seberapa jauh itu semua mempengaruhi perkembangan Ebiet. Tapi itulah lingkungannya. Dan ia pun bernyanyi tentang keluarga pengemis: Tuhan/Selamatkanlah istri dan anakku/Hindarkanlah mereka dari iri dan dengki/Kepada yang berkuasa dan kenyang/Di tengah kelaparan/Oh, hindarkanlah mereka dari iri dan dengki/Kuatkanlah jia mereka, bimbinglah di jalanMu Dengan suksesnya dua albumnya, pemuda umur 25 tahun berkacamata minus setengah itu tak lagi bergelandangan, tak lagi terpaksa menahan lapar. Sebuah Honda Civic, dengan setia membawanya ke mana pergi. Meski kini masih tidur di rumah sempit di satu kampung, di Yogya, tak lama lagi sebuah rumah yang layak bagi mereka yang sukses akan dimilikinya. Apakah ia akan masih menyanyikan rakyat dengan bahasa yang polos? Siapa tahu. Yang mungkin jelas bisa diharap, andai pemuda yang diberi nama orangtuanya Abdul Gafar Abdullah itu masih terus menyanyi, liriknya taklah akan sulit dipahami. Ia, rasanya, bukan pencipta syair dengan kalimat "indah" nan gelap. Lirik itu jualah kekuatan Franky & Jane, kakak-beradik kelahiran Ambon (yang sudah kehilangan keambonannya, kata teman-temannya) yang bekerja sama dengan Yudhis dan dengan seorang bernama Hare. Baru dalam volume 4-nya yang beredar bulan lalu, Frank tampil dengan 4 lirik ciptaan sendiri. Orang memang masih boleh menanyakan peranan musik alias instrumen alam lagu-lagu semacam itu. Tetapi Ebiet, Franky & Jane, seperti juga Leo Kristi, memang menegaskan kehadiran 'musik bertutur' dalam pop Indonesia. Di situ musik sudah tentu vital -- namun sebagai pengiring. Yang hadir kemudian boleh jadi memang bukan sebuah 'lagu' yang merupakan kesatuan bunyi-bunyian dan lirik, tetapi dua hal yang jalin-menjalin. Boleh terasa bau gitarnya, bau troubador, bau country -- bunyi-bunyian yang selalu tiba-tiba tersibak untuk memberi kesempatan lirik menonjol, tetapi tidak sebenar-benarnya hilang ia akan berlanjut seakan memberi komentar atau menyambung kisah. Itu misalnya terasa pada Berita Kpada Kawan Ebiet yang sudah dikutip, dan yang musiknya aneh bisa mengingatkan orang pada Bach. Tanpa dibebani keruwetan musik yang memaksa telinga mendengarkan, seorang sopir di mobil juga bisa mendengar dengan baik apa yang dituturkan lirik lagu Franky & Jane seperti: Kuayun sepeda jengki ke arah pelabuhan/Dengan kawan-kawan kau bergurau di jalan/Kautinggalkan kamar tidurmu/Yang kecil di rumah kontrakan/Di kampung yang padat penghuninya. Dan semuanya gampang dipaham. Juga Leo Kristi. Walaupun arek Suraboyo ini terasa lebih genit, dengan kegemarannya memasukkan seruan "ei ei ei" atau sekedar "la la la" dengan perasaan gagah. Ia punya kecenderungan ekspansif, bila tak bisa ekspresif. Kereta Laju dalam Nyanyian Tanah Merdeka misalnya, tanpa dimasuki seruan-seruan itu rasanya lebih enak didengar. Leo memang tidak sehening dan sesantai Eranky & Jane maupun Ebiet dengan nada tinggi-rendah yang kontras, dan dengan teknik produksi suaranya yang terasa dibikin (meskipun Ebiet kadang juga masih kurang wajar), ia bisa terasa ngotot. Apa lagi bila liriknya menggunakan sejumlah kata hebat seperti pilar-pilar, abadi, tubuh berkembang dan semacam itu. Tetapi lirik yang bagus sudah tegak -- dan didengar oleh parasopir. Mungkin waktunya tidak terlalu banyak lagi bagi Ebiet atau yang lain-lain -- sebab selalu akan dimunculkan yang baru. Tapi kesempatan masih kita berikan kepada Ebiet: Dia berjalan dengan kakinya Dia berjalan dengan tangannya Dia berjalan dengan kepalanya Tetapi ternyata dia lebih banyak Berjalan dengan pikirannya. Situ tahu maksudnya? "Tidak, saya sebetulnya tidak tahu. Tapi kedengarannya enak, Mas," jawab Sutarno, Sopir kolt Yogya-Sala itu.

(Majalah Tempo 8 Maret 1980)

Tidak ada komentar :

Posting Komentar