Senin, 15 Juli 2013

JK Records "Sendirian"

Tidak ada komentar :
KAMPANYE JK (Judhi Kristiantho) Records memasyarakatkan penyanyinya cukup riuh dilakukan.

Meriam Bellina, misalnya, belum lama ini muncul di jalanan Jakarta membagi-bagi pamflet kampanye tertib lalu lintas. Di arena PPI barusan, perusahaan ini tak mau ketinggalan. Juga, wajah sejumlah penyanyinya terpampang di beberapa halte bis Kebayoran Baru. Acara musik di TVRI - dengan berbagai cara - hampir tak pernah absen diikutinya.

Pendeknya, banyak akal digunakan Judhi Kristiantho, 37, untuk mengibarkan bendera artis dan perusahaannya. Untuk mendorong penjualan kasetnya, ia bahkan tak segan-segan menyelipkan kupon berhadiah mobil, motor, dan seperangkat perlengkapan musik. Tak disangka, orang yang semula kelihatan sibuk mengurusi percetakan Sagitarius Offset, mengerjakan pesanan iklan, serta mencari model bisa membuat berbagai iklan begitu meriah.

Di bilangan produsen lagu Indonesia, nama JK Records memang termasuk berada di papan atas. Bukti sukses perjalanannya selama kurang dari tiga tahun sudah ada: dua studio rekaman dengan perlengkapan mutakhir (24 track) berikut sekumpulan penyanyi tenar yang siap mencetak uang. Padahal, sampai tahun 1982 lalu, Judhi masih dikenal sebagai pimpinan cabang PT Indohero, penjual motor dan mobil Suzuki di Cirebon. Hanya tiga tahun ia bertahan di situ sebelum, ia nekat merekam suara Chintami Atmanegara. Kampanye besar kemudian dilakukannya.

Ratusan sprei dan kaus bergambar tampang penyanyi itu, misalnya, diedarkannya ke masyarakat. Hasil kampanye yang menyedot Rp 70 juta itu, memang, belum memuaskan: penjualan album pertama Chintami hanya memasukkan uang Rp 12 juta. 

"Yang penting, bendera JK Records bisa berkibar dulu," katanya. Risiko belajar dengan harga mahal itu memang sudah diperhitungkannya. Kepada TEMPO, secara terbuka, Judhi mengaku seperti orang diplonco ketika memasuki bidang usaha yang masih sama sekali baru baginya. Juga waktu ia harus berhubungan dengan para distributor untuk memasarkan hasil penggandaan rekamannya. Hampir semua perkataan pedagang itu, yang menganjurkan dalam memilih lagu dan penyanyi, didengar dan diturutinya. 

"Saya tak bisa apa-apa, saya benar-benar seperti didikte," katanya. Beberapa kali pula Judhi kejeblos membeli lagu jenis dang dut dan irama Melayu yang semula disangkanya bagus. Sesudah didengar ulang bersama musisinya, ternyata, dianggap seperti bubur ayam telanjur dingin. Masa meraba-raba seperti itu, yang dibayarnya dengan mahal, harus dilewatinya sekitar satu setengah tahun. 

Rezekinya mulai mcncorong ketika ia bertemu Diah Daniar Ibrahim, yang baru saja menyelesaikan kontrak dengan sebuah perusahaan rekaman. Tapi penyanyi ini bukan dengan sekali tarik suara bisa mendatangkan uang. Tiga albumnya di JK Records ternyata masih seret dijual. Baru pada album keempat, Dian, yang namanya oleh Judhi diganti jadi Dian Piesesha, meledak penjualannya. 

Dalam tempo kurang dari setahun sesudah diedarkan, dua juta kaset album "Tak Ingin Sendiri" itu laku terjual. Untuk itu Judhi memberi Dian hadiah Mazda 323. Pabrik pita kaset Master HDX, yang juga senang, memberi mobil BMW kepada Judhi sebagai produser pemakai kaset itu. Toh, sektor usaha yang menjanjikan banyak uang ini tak bisa ditangani dengan santai. 

Jika diperhatikan agak teliti, para produsen tampaknya tak pernah mau tanggung-tanggung dalam mengiklankan album terbaru penyanyinya. Tempo-tempo mereka secara tersamar menggunakan media TVRI untuk beriklan. Judhi sendiri sering harus berkampanye keliling daerah, melakukan jumpa penggemar, dan membuka kesempatan wawancara dengan pelbagai radio swasta di daerah. Dan hampir semua kesibukan itu dilakukannya sendiri.

(Majalah Tempo 02 November 1985)

Tidak ada komentar :

Posting Komentar